oleh: Imam Apriansyah
Menatap
mentari yang terbit pelan-pelan. dibalik bukit itu separuh cahaya
jingganya menembus cakrawala. Pohon-pohon beringin tertiup angin pagi
yang berhembus dari gunung dempo. Daun-daunya yang menguning itu runtuh
mengemas riwayat ditanah.
“kamu tetap akan mencintainya.”
“siapa?”
“ratna. bukankah dia sepertinya tak membalas cintamu”
“kamu tak mengerti mawar. Ia begitu istimewa. Dan aku tak akan berhenti untuk mendapatkan cintanya.”
Selalu
kamu membuatku ciut. kamu sepertinya tak melihat sorot mataku yang
memberi pertanda cemburu. Aku kesal memendam rasa yang sudah lama
membelenggu. Aku wanita duhai lelaki berhidung mancung, tak wajar jika
aku duluan yang mengungkapkan rasa ini.
“sampai kapan?”
“maksudmu?”
Aku
kikuk. Tak kusadari bibir ini menceracau hingga terucap kata itu.
Barangkali tak mampu menahan luapan perasaanku terhadapmu. Aku sejenak
terdiam dan hanya mampu menunduk. tak sanggup menatap hujaman matamu
yang selalu ingin membuatku menangis rindu.
“ e, em... maksudku,
sampai kapan kamu akan menantinya? Bukankah masih banyak wanita yang
mengharapkan cintamu. Termasuk orang yang berada disampingmu ini.”
“???”
“jangan GR lho, aku cuma menghiburmu”
Dan kamu mencubit hidungku.
“aww. Sakit tau!”
“kamu sih. Aku serius mawar.”
“aku juga serius. Aku Cuma kasihan sama kamu.”
“kasihan? Kenapa? Adakah yang patut dikasihani.”
“kamu juga nggak mengerti mad, siapa Ratna sebenarnya.”
“Ratna yang katanya cewek matre itu, sudahlah mawar kamu jangan terlalu termakan gosip murahan itu.”
“bukan itu saja.”
“ia wanita murahan?”
“bukan itu saja”
“lalu?”
Bibirku
lagi-lagi membeku. Sorot matamu membuatku bertekuk lutut dihadapanmu.
Aku kalah, berkali-kali kalah. untuk sekedar menatap matamu dan
mengatakan kata yang bagiku sakral itu aku tak mampu.
Dedaunan
kembali runtuh. angin gunung itu berhembus kencang, menerpa kita
beberapa helai daun yang sudah menguning. Bangku yang kita duduki telah
mengering embunnya, dihisap mentari yang mulai meninggi. Sinarnya pun
menerpa sebagian kaki kita. Sebagiannya lagi dihalangi pohon beringin
yang tumbuh banyak di taman ini. Beberapa kendaraan mulai berlalu
lalang, hiruk pikuk pengunjung ramai. Yang Rata-rata adalah remaja dan
pasangan muda yang hendak ngobrol atau sekedar menghabiskan waktu libur
hari minggu mereka, sembari memadu cinta ditaman yang nuansanya romantis
dan indah.
Burung-burung gereja bercanda ria. Terbang bebas dari ranting cemara.
“mawar?”
“ehm, “
“kamu belum menjawab tanyaku.”
“yang mana?”
“argggh. Kamu selalu selalu begitu”
“wew, bukankah semuanya sudah jelas sobat.”
“aku tetap akan mencintainya, mawar. Apapun yang orang bilang.”
“terserah kamu lah. o ya mad.”
“iya. Kenapa?”
“ijinkan aku menyanyikan sebuah lagu kesukaanmu.”
“yang mana?”
“ lagu Nikita willy, yang judulnya lebih dari indah.’’
“kamu suka?”
Aku mengangguk. Aku mulai menyukainya sejak kamu menyukainya rahmad, bisikku dalam hati. Dan aku mencoba menyanyikannya.
Bergetar hati ini saat mengingat dirimu
Mungkin saja diri ini tak terlihat olehmu, aku sadari itu
Bagaimana caranya agar kamu tahu bahwa kau lebih dari indah
Didalam hati ini
Lewat lagu ini kuingin kamu mengerti: aku sayang kamu
Kuingin bersamamu.
“mawar... Kamu menangis.’’
‘’terlalu mendalami makna lagu itu barangkali.”
“hehe. Aku suka. Suaramu bagus.”
“biasa
saja mad. Lebih bagus penyanyi aslinya.” Kataku. Dan berlalu
meninggalkanmu pulang kerumah. Kamu sempat bengong kulihat. Tapi
semuanya kulakukan untuk menutupi air mataku yang tak terbendung. Aku
mencintaimu dan aku tak ingin merusak bahagiamu.
***
“tumben disenja begini kamu ajak aku kesini.”
“kita dulu kan waktu masih kecil sering kesini. Kamu sudah lupa ya? Kita sering sama-sama mencari kupu-kupu atau capung disini.”
“rahmad.”
“matamu pasti berkaca-kaca.”
“aku tak akan melupakannya rahmad.”
“suamimu?”
Kenangan
itu menyeruak dalam ingatanku, saat mas wiro orang yang kusebut suami
baru seminggu harus meninggal tenggelam diempang desa gara-gara ingin
menangkap seekor kupu-kupu yang hinggap ditongkat yang menancap. Tak
terlalu dalam. Namun aku tahu betul mas wiro tak bisa berenang. Tak ada
orang waktu itu. Keadaan sekitar empang sepi, karena tempat yang
terkesan angker itu anak-anak atau warga tak berani sembarangan
mendatanginya.
Harus sedini itu usia pernikahanku.
“mas wiro mad.”
Aku
menangis sesenggukan dan merebahkan tangisku didada rahmad. Ia seolah
membiarkanku untuk menangis sejadinya. Ia mengambil HP disakunya dan
memutar lagu kesukaan mas wiro. Ungu untukmu selamanya.
Tangisku
bertambah deras. Kupu-kupu pulang keperaduannya. Senja sebentar lagi
akan habis dimakan malam. Air empang menarikan lagu yang menertawakan.
Ada bayangan dan tangis mas wiro disana. Dan Lambat laun tangisku pun
reda.
“mawar....”
“iya.” jawabku dengan suara yang sedikit parau
“aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu. Kuharap kamu juga bahagia mendengarnya.”
“apa itu mad? katakanlah.”
“aku akan segera menikah.”
“dengan siapa? Secepat itukah. Lalu bagaimana dengan kita.... em maksudku persahabatan kita? Aku takut kamu bakal melupakanku.”
“tidak akan pernah mawar. Persahabatan kita abadi.”
“bukankah tak ada yang abadi.”
“dan tidak pada sebuah persahabatan yang dilandasi karena cinta kepadaNya.”
“tapi?”
“tapi apa war.”
“aku.....”
“mengapa denganmu?”
“ah sudahlah. Lupakan saja. Oh ya kapan kamu akan melamar ratna.”
“ratna?”
“iya ratna. bukankah dia gadis yang kamu impikan selama ini?”
“bukan mawar.”
“lalu siapa, adakah wanita baru yang telah mengusik hatimu? Lalu ratna bagaimana?”
“aku
sedang ingin melupakan gadis yang tak tulus mencintaiku itu dan sedang
jatuh cinta pada gadis yang dengan hatinya mengharapku tanpa kesan
mengumbar.”
“siapa gadis beruntung itu? Katakan padaku.”
“dia selalu menghias cerita masa kecilku. Dia cantik. Agak tomboy sih tapi paling cantik kalau sedang marah.”
“rahmad kamu membuatku penasaran. Santikah? Atau nina?”
“bukan.”
“lalu siapa?”
“kamu mawar. Kamu telah membuatku jatuh cinta.”
“betulkah yang kamu katakan itu? Atau kamu hanya ingin membuatku ge er”
“demi senja yang diciptakan untuk kita. Kamu selalu saja menghantui tiap detik waktuku.”
“kamu membuat wajahku memerah. Rahmad.”
Dan senja berguguran. Warna jingga diufuk barat berangsur memudar. Tinggal titik-titik sisa cahaya yang juga beranjak sirna.
Pagaralam,16 september 2011. 11.00 Wib