Minggu, 04 Desember 2011

belum selesai


Senja merona pelan. Mentari tinggal separuh ditenggelamkan samudra. Dan aku masih duduk disini, menatap cahaya jingga yang dipermainkan ombak. Meliuk-liuk jariku, menggores tepian pantai. Mencoba menggambar sketsa wajahmu.
            “Nadya…”
            Tiba-tiba suara khasmu membuyarkan konsentrasiku.
            “ayah…” . aku melongok tak percaya.
            “ayah, kau kah itu?”
            “kemarilah nak” dan aku menghambur kepelukanmu. Menangis sejadi-jadinya menumpahkan rindu yang terperih.
            “setiap hari aku menanti ayah disini, aku sudah kehilangan ibu, aku takut ayah juga akan…”
            “ssst, jangan dilanjutkan nak, ayo ayah lelah sekali.”

Sabtu, 29 Oktober 2011

Sesuatu itu.....

oleh:  Imam Apriansyah


tak terasa, sebentar lagi tugas ini akan aku dan teman-temanku selesaikan. tinggal beberapa tugas laporan yang mesti dirampungkan segera. banyak sekali hal yang aku dapatkan, terkhusus adalah sebuah pengalaman yang sungguh sangat berbekas dikalbu. memang seringkali halangan dan rintangan kerap menerjang langkah-langkah polos kami, baik itu datangnya dari guru-guru yang kami tumpangi sekolahnya, maupun beberapa siswa yang mungkin sedikit mengalami syndrom keremajaan mereka.
lelah selalu jadi alasan untuk mengeluh dalam tiap doa dan sholat kami, seakan tugas ini tak akan mampu kami selesaikan. yah, ada saja masalah yang dibuat orang untuk memburukkan citra kami sebagai orang yang merasa menumpang mencari ilmu disana.
salah satunya adalah beberapa oknum yang sulit sekali ditebak apa maunya, saat aku dan teman-temanku senyum eh tak sedikit pun balasan senyum hadir dibibirnya. namun serba salah juga, tidak senyum dikatakan sombong dengan segala pencarian kesalahan dan aib lainnya.
aku sempat berkata dengan salah seorang temanku "jujur aku lelah....".
ia pun menguatkan aku, "biarlah saat ini kita memang sering diremehkan, tapi belum tentu nasib mereka akan lebih baik dari kita, roda itu berputar. barangkali saat ini mereka berada diatas, belum tentu esok akan selalu berada disana".

sepertinya aku akan beranjak dari cerita itu, yah murid-murid yang membuatku selalu merasa berharga. tak semuanya,tapi itu cukup membuatku bangga. dizaman edan seperti ini masih ada murid sesopan mereka, "assalamualaikum pak". senyum dan sapa mereka, tak mampu kuhapus dari memoriku, akan kuingat selalu. semoga kelak dapat bertemu lagi, entah itu dimana.

BERSAMBUNG.....

Sabtu, 15 Oktober 2011

KETIKA KAU RAMU KEMARAHANMU


 KETIKA KAU RAMU KEMARAHANMU

Imam Apriansyah


perih perjalanan ini,mengusik hijau rerumputan yang kutanam dipinggir rasaku.
membakar filsafat roda waktu
terkadang menjelma sebagi sesosok boneka tak berdaya
yang hanya mampu mengalah pada sumpah serapah.

aku mencoba menggalah rasa marahmu kepada ratusan kalimat yang kulipat didahi
menahan malu karena umpatanmu bak rindu badai pada pantai yang rapuh

aku tak mengerti arti setiap celotehan menyakitkan yang keluar dari pabrik-pabrik aksaramu
setiap saat menyemburkan asap hitam yang menyesakkan dada perjalanan.

mengapa hanya aku yang kau rindui tuk meluapkan benci dikepalamu

petuah-petuahmu,
ah hanya ratusan rasa memabukkan yang menelan senyumku.
terlalu pahit tuk dimakan sebagai sebuah pemahaman.

aku ingin pergi saja dari larut kecemasan dan kebengisan
sekedar untuk menerjemahkan cuaca  laut yang memberi sinyal kemurkaan.

PPL



Rabu, 12 Oktober 2011

Purnama Dimatamu, Ayah




Imam Apriansyah

Kutulis puisi kesedihan
Agar kau mampu membaca harum tubuhku dengan air mata.

Hari dan bulan berlalu diwajahmu namun tak mampu kau hentikan
Hanya sekedar permainan waktu yang kau biarkan berlalu.

Aku sering merindumu, sebagai purnama yang tak pernah tahu kapan kan kugenggam
Separuh cahayaku redup, tak mengerti kemana kan kucari lampu seindah rembulan.

Pada sepi dan halusinasi, pada mimpi yang kadang tak pasti
Kurebahkan rindu ini. Rindu yang mustahil dapat kuisi sebagai panganan dalam kaleng-kaleng lebaran. Atau lagu nina bobo yang kerap kudengar dari jendela dirumah tetangga.


Dalam doa yang siang malam aku panjatkan:
Akankah engkau menyeka air mata rindu yang kadang tak mampu kulabuhkan.

Selalu saja rindu itu memudar sebagai seberkas cahaya purnama yang diliputi awan
Memancar sebagai percikan hujan dimataku.

Ayah…
Gedung-gedung megah itu menutupi hatimu
yang hendak menyembunyikan purnama dimatamu.
Meranggas sebagian sejarahku dalam aliran darah yang kau pancarkan dalam rahim ibu.
Yang kini terdampar dihempas perihnya debu-debu jalanan.

Pada hujan senja itu
Engkau lempar tanggung jawab pada nisan ibu yang membisu.
Barangkali engkau malu.
Darah birumu terlalu kental, untuk menjaga mental kenyataan bahwa sejarah Tuhan menyatatku sebagai darah dagingmu.

Seumpama aku hanya kotoran
Yang membikin baju kebesaranmu jadi berdebu.
Aku ingin jadi tanah saja, selamanya dikubur dari purnama.

Aku memang bukan bima atau sadewa
Yang mampu bertarung merenggut tahta raja
aku hanya jutaan tetes air mata yang merindu purnama dimatamu, ayah.

*Puisi ini masuk dalam antologi puisi adalah hidupku.

Pagaralam,22 september 2011 17:09 wib.
 
 

Sabtu, 01 Oktober 2011

Menghadapi PPL


Menghadapi PPL

Pernahkah dirimu mengalami ketakutan yang luar biasa saat pertama kali kamu akan menghadapi tugas PPL?. Berarti kamu sama sepertiku, saat ini satu hari menjelang dilaksanakannya tugas PPL. Hati dan pikiranku begitu ketakutan dibuatnya, betapa tidak dengan berbagai wejangan yang disampaikan dosen pembimbing kemarin membuatku semakin bertambah takut untuk menghadapinya senin nanti. Selama dua bulan kami akan digodok sebagai calon guru professional. Menghadapi anak-anak SD atau SMP barangkali suatu hal yang biasa buatku, karena murid murid di bimbel yang aku rintis rata-rata adalah siswa yang masih duduk di SD atau SMP. Tetapi yang semakin membuat pikiranku gelisah adalah aku nanti harus berhadapan dengan siswa SMK yang materi dan siswanya barangkali sangat kritis dan sulit.
            Ya Allah bimbing hambamu yang serba lemah ini…..
Pagaralam 1 oktober 2011

Selasa, 27 September 2011

Sebuah Semangat Menggores Pena


Sebuah Semangat Menggores Pena
(Oleh Imam apriansyah)

24desember 2010, cuaca senja  berhias rintik gerimis. Pelangi membentang merona diufuk timur kota pagaralam. Gunung denpo nampak tertunduk sendu diselimuti awan. Saya mencari rintik-rintik imajinasi dibawah langit pagaralam yang jingga menawan. Rindu menggores  baris-baris puisi atau fiksi. Pelipur lara dikala hidup tak lagi memberi arti.
Saya petik lembaran buku-buku usang ditaman aksara. Mochtar lubis mengajarkan saya semangat menulis dan segudang karya kreatifnya .Lewat cerpen si jamal(1950) dan perempuan(1956). seorang sahabat membisikan kata-kata penyemangat. Jadi penulis harus baca buah karya para penggores pena seperti piepit senja, asma nadia, fahri asiza,gola gong, dan helvy tiana rosa.
Kau juga mestu menjelajah ukiran sajak chairil anwar, karya sastra asrul sani idrus hamka, sedertan karya yang tak habis dimakan masa.
Dalam segala kenangan yang mengendap dalam memori saya,menjadi penulis telah saya impikan sejak usia yang sedang merajut remaja, kala segalanya indah bertabur cinta anak belia.Diary Jadi saksi bisu.sastra telah merubah paradigma hidup saya. Menjadi hidup yang lebih ada dari sekedar ketiadaan.
Pengetahuan saya tentang segala dunia goresan pena dan sederet apreasi saya terhadapnya semakin bertambah saat saya mulai beranjak dibangku SMA. Bertambahnya volume motivasi yang membahana dalam imajinasi saya saat cuaca kota telah beranjak dewasa.
Berdiri tegap menyongsong arus globalisasi yang mulai merambati kota yang baru berdiri ini. Meski suasana sastra dan dunia kepenulisan masih awam dimata masyarakatnya. Jikadibandingkan dengan  kota jogja atau sebuah kota yang dijuluki paris van java, tentu sangat jauh perbedaannya. Namun minat baca masyarakatnya boleh dikatakan cukup tinggi.hal ini menjadi titik awal mengapa saya begitu tergugah untuk terjun  menekuni dunia pena. Saya berharap dengan memprokalmirkan diri saya kedunia pena, akan ada beberapa industri dunia buku yang akan bertandang kekota yang haus akan bacaan yang bermanfaat ini.
            Seklaipun perkenalan saya dengan dunia dunia pena terbatas dengan selembar alasan. Berupa fasilitas yang sedikit sekaldan tentu tak mencukupi. Namun sebuah majalh sastra telah menghidupkan lentera semangatku untuk terus menapakinya.
            Para penyair Indonesia seperti H.B jasssin, taufik ismail, dan jamal D Rahman yang memberikan  kesan mendalam bagi saya. Dan saya mulai menikmati dunia pena yang saya tapaki. Mulai percaya diri mengikuti berbagai kompetisi menulis yang boleh dikataka pesertanya lebih dulu memsuki dunia yang bagiku masih baru ini. Beberapa karya saya sempat diterbitkan, mseki sebelumnya mendapat berbagai penolakkan. Namun hal itu malah menambah semangat saya semakin membahana.
Asrul sani pernah mengatakan  bahwa seseorang pengarang dunia paling banyak menemukan diri dan bakatnya sebagai seorang pengarang adalah ketika mereka berada  disekolah menengah. Saya merasa  pena ini telah menggores karya  sejak masa SMP. Hal ini membantu saya untuk terus berkarya meski masa penekunana itu baru muncul  ketika berda dalam suasana kampus.
Saya selau berusaha berkaca pada penulis-penulis senior dengan selalu belajar dan membaca kary-karya phenomenal mereka. Agar pena saya semakin tajam dam menembus cakrawala satra lebih dalam.
 Saya berharap langit jingga yang menyelimuti kota pagaralam diujung senja ini akan berubah bintang bertaburan karya karya anak-anak yang lahir ditanah yang berada diakai gunung dempo yang indah.
                                    Pagaralam , pria penyimpan air mata  27 april 2011.
21:00 wib


Pantai Kenangan( Bersama Bunda)


Pantai Kenangan( Bersama Bunda)
Oleh Imam Apriansyah

Serpihan badai mencengkram erat puing-puing kelemahanku
Gerimis abadi pun ikut meramaikan  aroma pantai yang kelabu
Membasahi tepian bahterah yang rusak diterpa parang gelombang

Diberanda masih berwarna duka
Dalam hiruk pikuk perkabungan yang tajam menerkam tiap sudut kenangan
Karang-karang membisu
Dihempas puing-puing buih keruh
Langit pagi berkabut
Hitam kelabu terpendar dipermainkan badai gemuruh

Diruang usang berjelaga dengan lantai kelabu
Kerlipan senyummu merapuh membeku
Air mata jadi doa pengiring tubuhmu yang membisu
Membujur diranjang yang panjang berhias keranda kayu

Ratusan kalimat cinta tergores dilautan hatimu
Yang setiap senja tiba kau ukir bersama layar-layar bahterah yang bersandar didermaga
Kini  terhapus tiap baitnya
Dijilati ombak perkabungan yang meremukkan asa
Dan diri ini kian rapuh
Terkapar dihempas gelombang kesedihan

Bunda…
Merajam sudah bau busuk cuaca
Kucari celah tuk dapat menghapus tiap jengkal duka
Namun tubuh ini seolah tak bernyawa
Tenggelam dalam hamparan panorama kuncup kamboja

Sulit nian kan kurengkuh lagi hangat kasihmu
Terpasung sisa bau karangan bunga ditanah merah yang abadi
Terkubur asaku yang mendamba menghabiskan sisa senja dipantai biru
Kala tubuhmu masih mampu menjadi tempatku mengadu dahulu

Bunda …
Laut seperti memantulkan sepasang kesedihan
Dan aku masih duduk disini, dipasir pantai kenangan
Menggores-gores bibir pantai kala senja tiba
Agar tak lagi merajam sukmaku yang sunyi tanpamu

Pagaralam, pria penyimpan air mata, 07.05.2011. 12.15 wib Nama      


Kala Kalbu Meramu Rindu


Kala Kalbu Meramu Rindu
(Oleh Imam Apriansyah)

Ketika bulan memajang rindunya pada ramadhan
Malaikat-malaikat bersayap putih menggetarkan telungkup rindu
Runtuhkan  kesunyian denting malam
Aroma air mata keimanan terbentang,  menghias takbir dan salam ditepian kalbu,
tentram.

Sujud syukur kesyahduhan menggema dipenjuru alam
Merangkul hektaran rindu bulan bercahaya kemenangan
Indah damai, amal pahala dilipatgandakan
Rahmat dan ampunan tercurah dirisau keresahan, menjelma merona pintu surga dibentangkan.

Riuh tetabuhan bunyi dentang genderang sahur
Ramaikan sebongkah rindu tanpa sayap
Kendalikan nafsu diri dipepat kalbu, menggores keutamaan ditiap geliat waktu.
Penuh gairah ganjaran
Segala kebaikan meramu haluan, mencipta cahaya menyinari jalan menghapus goresan kelam.

Duhai bulan bersayap rahmat
Duhai bulan bertahta mulia dicipta,
Ramadhan bermahkota mulia namanya,
Yang Tuhan datangkan kembali mewarnai hidupku, malu aku yang tak mampu mensyukuri nikmat RamadhanMu dahulu
Takabur kufur mencandui jiwaku
Merasa sempurna bersayap patah, membantai segala perintahMu
Menjalari keangkuhanku
Harapan yang kadang menjelma keharusan
Kupinta dengan paksa seolah ku paling tahu kebenaran dan
Ketika tak Kau kabulkan
Jiwa merasa tak pernah nikmat diberikan

Ya Rabb Dalam segala lemah imanku
Doaku mendekap segala keluh kesah keresahan batinku,yang berdosa karna tergoda cakrawala nafsu
Izinkan aku mengetuk guratan cahaya RamadhanMu
Izinkan aku bersua rindu ditiap sujud ibadahku

Demi bulan yang kau muliakan ampuni hina kerapuhanku.

Pagaralam , 6 juli 2011.

*puisi ini masuk dalam antologi puisi mengukir cahaya ramadhan


Kain Kusut Yang Kurindukan Nyatanya


Kain Kusut Yang Kurindukan Nyatanya

Oleh Imam Apriansyah

Waktu menyeretku pada ujung  benang, memintal kekusutan yang merambah kain kafan
Detik-detiknya menyimpan perangkap sekaligus taman bermain dimasa belia.

Dan Langkah-langkah kecilku dihantui masa
 menjelma sebagai sejumput rindu dalam pusaran lara.
Aku terdiam
 menjamah hati yang kian dahaga,terpasung dalam deretan bimbang rasa.
Rasa yang tak biasa, menghamparkanku lagi pada kenangan pahit meniti titian tanya.
.
Kain kusut itu kini  telah berubah parang izrail, sayup-sayup suaranya merenda kerinduan
“sudah satu detik tak kujamah nyawa” katanya.

Sementara taburan kamboja mengering, kesal menanti janjiku yang tak kunjung ditepati. Hari ini ia merintih, merebahkan diri pada dada tanah basah
Nisan-nisan yang kokoh bertancapan, memasung namaku yang telah dipesan hari ini.

Duh maut…
Mengapa hadirmu menjebakku pada penjara gundah, mengapa harus secepat ini kau datang menyanyikan dongeng surga.
Taman-taman mimpi sederhanaku bersama ayah, haruskah segalanya hanya sebuah lagu omong kosong belaka?

 Ku meminta pada maut,
Beri aku waktu sekali lagi,untuk memintal benang kusut itu sejenak menjadi sebuah kain sederhana
Sehari saja…
Agar kudapat menyibak tirai asa yang telah lama kurindukan nyatanya.
diruang berjelaga, Sebuah Tanya diserpihan nuansa
Senyata Ayah yang kucinta
dimanakah berada…

Pagaralam 10 agustus 2011 11:14 wib.




Surat Kecil Untuk Ayah


Surat Kecil Untuk Ayah
*flash fiction*
(oleh Imam Apriansyah)

Sebuah kepingan kehidupan yang mesti kujalani.
Pagi ini aku sendiri, mengeja aksara yang terbata-bata kupahami. Sepucuk kertas usang yang nampak telah lama sekali disimpan rapat dari pengetahuanku. Isinya ,mewakili segala jati diriku.
            Sekedar melepas lelah, aku duduk di tepi dipersimpangan jalan sebuah kota. Diterpa gerimis kecil yang senyata mengguyur tubuh dekilku. Bekalku telah habis, hanya tersisa uang dua ribu rupiah dikantung celana. Padahal perjalananku belum usai, meski telah mencapai kota yang dituju, tetapi aku sampai tak menyadari kalau aku belum pernah menjamah kota ini.
            Aku duduk termangu, menatap papan hijau bertuliskan “kabupaten Cilacap” diseberang jalan.
`           “pergi dari sini anak haram!!” bentak ayah kepadaku. Semalaman aku tidur dikandang ayam sebagai hukuman atas kecerobohanku. Dipukuli bahkan dihempaskan kepalaku kedinding reot itu. Aku hanya diam saja, tak dapat melawan, hanya tangis bersimbah darah dikepala.
            Mang sadi tetangga rumahku terenyuh menatapku, ia menolongku dan membawaku kerumahnya, ibu kulihat hanya menjerit menangis memohon-mohon kepada ayah, agar tak menghajarku lagi. Yang kurasakan hanya mual, pening dan pandanganku buram, berganti gelap.
            “pergilah nak, semoga kau temukan ayahmu”
            “ibu, aku akan kembali, aku janji”. Kataku setelah kupahami rahasia yang terpendam selama ini. Akhirnya kumengerti mengapa ayah sebegitu kejamnya kepadaku. Aku hanya anak pungut yang diambil setelah ibu kandungku melahirkanku. Hanya surat dan bongkahan nisan bertuliskan nama ibu kandungku yang ia wariskan “Ratna”.
            Kubaca surat itu pelan
            Anakku
            Ibu  mungkin tak sempat memberimu hangat ais susu, memberimu hangat pelukan seorang ibu, ibu terlalu pengecut untukmu nak, tetapi ijinkan ibu bercerita tentang suatu kisah yang mesti kau tahu, ini menyangkut statusmu kelak ketika kau telah dewasa. Berat rasanya tapi ibu tetap harus bercerita.
            Ibu hanya anak seorang pembantu rumah tangga dikeluarga seorang pengusaha, orang tua ibu telah meninggal dan ibu yang meneruskan menjadi babu dirumah itu, suatu hari anak majikan ibu jatuh cinta pada ibu dan ibu menerimanya karena ibu juga mencintainya,tetapi cinta kami tak direstui,ibu hamil nak dan ibu diusir dari sana, ibu bingung, dan ibu lari kekota kecil ini, mengandungmu dengan susah payah, tapi ibu tak sedikitpun punya niat menggugurkanmu, karena kau punya hak untuk tetap hidup nak.
            Satu yang ibu pinta, cari ayahmu jika kau telah dewasa dan berikan surat ini kepadanya itu saja nak.
Salam hangat,
Ibumu yang tak berguna.”
****
            Kulangkahkan kembali kakiku menyusuri tepian jalan yang mulai ramai.
“ojek de” seru seorang tukang ojek.
“nggak bang trimakasih, Cuma mau Tanya alamat ini, tau nggak bang?”
“ oh rumah bapak andi? Itu de’ rumah yang diseberang yang No.20”.
“ oh makasih ya bang”
“ sama-sama de’.”

            Seorang pria paru baya sedang bersenda gurau ditaman rumah dengan seorang wanita yang aku tak tahu siapa, disampingnya anak perempuan seumurku, memeluknya manja. Aku hanya termangu didepan gerbang rumah megah itu,
            “pengemis ya?” pria itu melemparku dengan selembar uang seribu rupiah dengan sombongnya. Sakit menyelusup hatiku namun kucoba untuk tetap ramah dan bertanya;
            “ bapak Andi hadiningrat ya?” tanyaku gugup.
            “iya anda siapa, maaf saya sedang sibuk.”
Ingin menangis dan memeluknya, pria itu ayahku, ayah kandungku, tetapi aku tersadar ia ta mengenalku, bahkan mungkin taka kan mau mengakuiku. Aku melempar surat titipan ibu dan berlalu.”aku janji taka akan menemui ayah lagi”. Jeritku dalam batin.

                                                                        Kepingan hidupku,
                                                                        Pagaralam, 14 agustus 2011,09.45.

Dan Aroma Laut

Dan Aroma Laut

o




Imam Apriansyah




Dan aroma laut ini telah kujilati deburnya, selayak rasa yang menghendaki sebuah pertualangan hidup
Bergemuruh airnya menghempas-hempas bibir pantai, sempat meluruhkan semangat melayarinya




Dan aroma laut semoga bukan akhir perjuangan maut, masih panjang badai yang mesti ditepis
Jika mati nahkoda disepenggal perjalanan akan kemanakah muara kan kita tuju…




Kelak jika kita tabah melayarinya, ombak kan seperti bualan belaka
Hanya serpihan tetes pil pahit yang mendewasakan bahterah.



Berlayarlah
Ciumi aroma laut
hempaskan badai yang menghalangi langkah nahkoda
dan jabat buncahan makna.

Pagaralam 10-08-11 11:57 wib

Tapak Malin Kundang


Tapak Malin Kundang
(Imam Apriansyah)

Seperti kapal-kapal menumpahkan penantian bagi dada pelabuhan Teluk Bayur.
Kudatangi istana pantai air manis yang merona sejarahnya
menyusuri jembatan siti nurbaya
dan mata menyaksikan asrinya, rindang pepohonan hijau mendamaikan asa yang gundah gulana.

“Batu malin kundang saksi sejarah
 Riwayat tanah wanita tua yang didurhakai anaknya.
Ketika wanita bernama ibu itu,mengemas riwayat dalam sumpah serapahnya;
Senyata Anak semata wayang yang susah payah ia pelihara.
Digerus keangkuhan,dibutakan kemolekan harta , tahta, wanita.

Batu malinkundang saksi bisu cerita kelabu
Dipantai manis tertancap batu kutukan
Sesosok anak adam yang lupa daratan
Jadi batu…
Membisu,sujud dijejak kaki sang ibu”.

Aku sampai pada jejak sejarah yang membikin sadar jiwa
 bahwa doa ibu itu cepat ijabahnya.




Senja di Beranda


Senja di Beranda

Imam Apriansyah

Senja diberanda. Sebuah rutinitasku menantimu pulang kerumah. Disini aku sering merasa bahagia. Kebahagiaan yang tak mampu terucapkan oleh kata-kata. Kala melihatmu membuka pintu pagar rumah kita. seketika jantungku berdegup kencang,serasa pertama kali kita berkenalan dahulu. Entah apa yang membuatku sebegitu gugupnya untuk sekedar menatap sorot matamu yang menghujam.

Diberanda sudah siap secangkir teh hangat dan kue bola, hidangan kesukaanmu. Aku buat khusus untukmu. karena kau bilang hari ini pertama kali kau mencicipi kerja kerasmu. kau naik pangkat dikantor tempatmu bekerja.

Ada yang berbeda. Senja kali ini beraroma hujan. Hujan yang deras sekali, percikan airnya sesekali mengenai beranda rumah kita. Membasahi jilbabku, lembut seperti embun namun membuatku sedikit menggigil. Aku tak memperdulikan semua itu, segalanya jadi sesuatu yang biasa saja saat aku mengingat wajahmu dan ku usap peluh didahimu yang mengucur karena seharian bekerja.

Diluar sana anak-anak kecil berlarian bersama ayah dan bundanya. Mencari tempat berteduh agar tubuh mereka tak basah kuyup. Tak ada rasa cemas diwajah mereka. Yang ada hanya senyum ceria. Rasanya indah sekali hidup mereka. Dan Aku jadi ingat ucapanmu tempo hari, saat kau mengatakan merindukan seorang putra yang hadir ditengah-tengah usia pernikahan kita yang kesepuluh tahun ini.
“sayang, kapan ya kita bisa seperti mas andi, anaknya sudah 2 loh”.

“nanti sayang, kita mesti bersabar, Allah pasti pengen kasih yang terbaik buat kita.” kataku menghiburmu. Dengan raut wajah menyimpan segala rahasia tentang vonis mandul yang membelengguku. Dan kau hanya tersenyum, senyum yang membuatku lega.

Hujan hampir redah, hanya tinggal sisa-sisa gerimis yang menghias senja diberanda. Dedaunan dihalaman rumah runtuh dari pohonnya. Angin senja membekukan teh yang mulai berubah suhunya. Kue bola sudah meleleh gulanya, dihisap lapisan-lapisan embun senja.

Diluar pagar rumah kita sebuah mobil mewah bersandar didepannya. Seorang perempuan berambut panjang keluar bersamaan denganmu, membuka kedua pintu mobil bersamaan pula. Ia memegang tanganmu erat. Dan mencium pipi kanan dan kirimu. Rasa sakit dihati karena menahan cemburu dan kesal merona dipipiku. Aku tak lagi menghiraukan penantian panjangku diberanda. Membuka pintu rumah dan langsung menuju kesofa, dan air mataku jatuh juga. Namun ku segera mengusapnya.

“ pa sudah pulang?” kataku pura-pura tidak tahu apa yang kusaksikan barusan.
“iya” jawabmu dingin. Tak seperti biasanya, kau lebih dingin,sedingin hujan senja ini.
Dan kau berlalu meninggalkanku terpaku sendiri. aku yang ingin sekali memelukmu untuk sekedar bertanya bagaimana dengan pekerjaanmu hari ini. Bahagiakah engkau hari ini. Atau sekedar mengusap peluh didahimu seperti biasa, saat aku menantimu diberanda kala senja.
Sebulan lamanya kau mendiamkanku. Pulang larut malam dengan mulut bau minuman. Jika aku bertanya sedikit saja kau lebih memilih pertengkaran .Kemarahan yang tiada ujungnya. Sampai-sampai kau berani menampar pipiku dan berlalu meninggalkanku tanpa jawab yang jelas.

Aku tak tahan lagi dengan sikapmu akhir-akhir ini. Mencoba mencari sebab perubahanmu. Kali ini sebuah Senja tak kulalui lagi diberanda. Aku mencarimu ditempat kerja, tapi tak kudapati kau disana. Seorang satpam kantormu bilang kau sudah pulang bersama seorang wanita yang ia akui adalah anak pemilik perusahaan yang kau pimpin. Dan Ia memberiku alamat rumahnya.

***


“ibu siapa ya?”

“saya rekan bisnis pak suyono, kemarin ia menelepon dan mengundang saya keacaranya. Ngomong-ngomong acara apa ya pak didalam?maklum pak suyono suka buat kejutan kalau mengundang.”

“oh, pak suyono sedang mengadakan acara syukuran, putrinya sudah hamil bu.”

“wah emang putrinya itu sudah menikah ya, siapa suaminya pak?”

“wah ibu ini bagaimana masa rekan bisnisnya sendiri nggak tahu, he-he-he. Namanya Dimas Subardjo, pimpinan baru perusahaan bapak suyono.”

Itu namamu  mas. Dan aku hanya mampu menangis di seberang pagar rumah yang beraroma senja, melihat engkau bergandeng mesra bersama wanita yang sedang hamil muda diberanda rumah.






Kesetiaan



Imam Apriansyah

Kesetiaan bukan lagu omong kosong
Tentang janji yang sesumbar kau ucapkan didermaga, kala diriku harus meninggalkanmu sendiri didesa yang menyimpan banyak penggoda.
Kesetian bukan janji ombak pada karang
Yang hanya datang dan pergi begitu saja.
Kesetiaan bukan pula sumpah setia kapal pada dermaga, yang tak tahu kapan ia akan kembalinya.

Sayang,
Tiga kata setia yang pernah kau ucapkan dahulu. Aku melihatnya dengan mata menganga
Terbakar dihamparan bumi yang dilanda kemarau dusta. Api kebohongan yang panas telah memakan habis, hangus tanpa sisa.
Dan jalan pulang ini juga mendongengkan cerita tentang sebuah kesetiaan, dengan wajah yang memucat riwayatnya patah.
Lagi-lagi sebuah kesetian itu bukan sekedar kata gombalisasi yang basi kau pahami
Seperti hendak mengekal
 ia merubah tubuhnya sebagai sesosok wanita yang tak berhenti menangis karena ditinggal suaminya kawin lagi.

Kesetiaan bukan sebuah bualan penyair
Bukan pula tipuan para penyihir
Tapi,
Kesetiaan adalah cinta yang terukir tulus hingga bumi berakhir.

Pagaralam 16 september 2011. 11.00 wib


SESEORANG YANG SEPERTI MATAHARI

SESEORANG YANG SEPERTI MATAHARI


SESEORANG YANG SEPERTI MATAHARI


Imam Apriansyah


Barangkali sayur mayur ini jadi saksi kita salam memahami gelagat hidup
Dini hari kita bopong bersama menjajaki jalan kiloan meter menuju pasar kota
Doa yang terlantun dibibirmu  tak henti bergulir, seperti udara dingin disepanjang jalan bertanjakan

Sampai kita pada riuh keramaian, menawarkan sayuran yang kau ikat semalaman

Terkadang aku melihat reruntuhan hujan mengoyak hatimu
Seperti sayuran yang tekapar layu, tak laku.
Kau halau awan ketika senja terdampar diruang berjelaga
Tak berbekas persembunyian airmata ditanganmu, hanya nyanyian sunyi
Bercokol dalam senyum yang kau tawarkan.

Ketika malam merayapi sujudmu, menarikan juntaian harap disajadah.
Engkau disitu menuai mimpi tentang sayuran yang menciptakan kenangan angin dan hujan
Orang-orang beranggapan engaku adalah pohon rindang
Sementara aku melihatmu sebagai matahari yang menembus langit malam.

Pagaralam 12 agustus 2011 02:30 wib

Fragmen Waktu


Imam Apriansyah

Dalam renunganku mencarimu cahaya waktu, kuterpasung dalam pusaran gamang yang sendu
Lorong waktu mendamparkanku pada labirin ketidakpastian
Ketika serpihan bernama kepedihan harus kandas diterjang karam cahayaku.

Sayup-sayup suaramu mengoyak habis sisa-sisa indahnya ruang mimpi
Mimpi yang dahulu selalu datang ditiap desah munajatku.
Kudendangkan lagu yang mengisi perjalanan pahit itu;

Wajar bila saat ini kuiri pada kalian
Yang hidup bahagia berkat suasana indah dalam rumah….

Duhai waktu yang kucari ujungnya
Ijinkan aku merebahkan kelu pada ribuan Tanya yang menggebu.

Pagaralam.2011.

Diary Depresi (sebuah fiksi)

oleh Imam Apriansyah pada 02 September 2011 jam 20:14
Diary Depresi

            Entah dari mana kan kumulai kisah ini-kisah yang kata sebagian orang adalah sebuah cerpen dramatis, mellow dan berisi hal-hal cengeng. Tetapi mereka terlalu kolot memahami arti sebuah diary. Ya, kisah ini nyata selarik diary yang kutulis sendiri. Aku pasih menyebutnya diary-diary depresi. Pas sekali dengan sebuah lagu yang terlanjur kusukai, hampir sama persis dengan semua perjalanan hidup yang kulalui.
            Aku berdiri didepan cermin, menengok kebelakang dengan kaca masa depan. Mencoba membacakan diary-diary perih ini. Dan air mata, penghias ditiap bibir melantunkan butir-butir aksara didalamnya.
            Ku terlahir dengan sambutan dingin.24 november 1990, hari yang sangat bersejarah bagiku, hari ketika aku dapat menghirup kejamnya aroma dunia, menjadi seorang bayi yang mengalami nasib yang tak mengenakkan. Sangat tak adil bagiku, ketika kasih sayang seorang ayah yang kurindu ternyata hanya sebuah dongengan malaikat ketika kutumbuh didalam rahim ibu. Hanya satu hal yang memang malaikat tak berbohong padaku adalah seorang perempuan tua yang rela mati demi aku, ia sangat lembut dan penuh kasih sayang, tak pernah sedikit pun mengeluh mengurusku. Merawatku tanpa peduli tubuhnya yang sudah mulai rapuh.
            Ia membesarkanku. Beranjakku pada masa kanak-kanak, ketika malaikat lari menjauhiku, aku sudah terlalu besar untuk selalu dipeluk sayap-sayap lembutnya. Hanya ibu dan dzat yang kukenal bernama Tuhan yang selalu menguatkannku, ibu selalu mengenalkanku kepadaNya, lewat sholat dan mengaji ditiap lima waktu. Aku jadi damai saat bersamaNya lewat keluh munajatku, aku pun lama-lama jatuh cinta padaNya.
            Ketika masalah melanda, ku selalu berdoa kepadaNya. Apalagi ketika ayah memukul dan menghajarku saat sebuah kesalahan sekecil dzarah kuperbuat, atau ketika aku menyebutnya ayah, ia marah seketika dan menyebutku “anak haram” sambil kepalaku dibentur-benturkannya ketembok. Darah bercucuran mengalir deras sederas tangisan yang menetes dipipi mungilku.
            Aku anak  ketujuh dari delapan bersaudara, namun diantara ketujuh saudaraku Cuma aku yang sangat dibenci ayah dan Cuma aku pula yang sangat disayang ibu. Dua sisi yang membikin galau dihatiku, sebuah dilema berkepanjangan yang sering mengusik relung keyakinanku akan doa yang selalu kupanjatkan pada Tuhan yang kusembah. Aku jadi sering marah-marah padaNya bahkan sempat bosan berdoa padaNya.
            Diusia remaja, saat masa labil melanda, saat rasa ingin tahu begitu membuncah, disaat jiwa membrontak mendambakan jati diri. Aku sempat mengenal ia, tuhan yang sebenarnya adalah berhala. Damai yang semu membuaiku lama. Aku lari dari rumah, mendapat kasih yang sebenarnya adalah neraka. Terlarut aku dalam dunia kelam bernama keyakinan sesat. Terlalu menggiurkan, ketika yang ditawarkan adalah cinta kasih orangtua yang sempurna, namun sebenarnya tak tulus, ia menginginkanku jadi boneka untuk menyebarkan missi sesatnya.
            Aku mulai merasa gundah, hidup bahagia namun jiwa kosong. Beda saat aku dahulu sering sujud kepada Tuhan yang ibuku kenalkan dahulu. Aku pun kembali dituntun mengenalNya oleh beberapa orang yang kusebut sahabat.
                                                            ******

            Aku begitu lemah; iman, keterampilan bahkan untuk bersosialisasi pun sangat susah. Tak jarang kudisebut kuper, autis, dan segala sesuatu yang berkonotasi buruk kerap dilekatkan sebagai sebutan yang pantas untukku.
            Aku jadi iri pada anak-anak sebayaku yang bebas berekspresi, lincah berprestasi. Aku hanya diam, sekolah, pulang, dimarah –marah. Hanya imajinasi yang kutorehkan lewat kata, lewat diary, lewat puisi-puisi. Sebagai pelampiasan kekesalanku dalam mengarungi perih yang ayah goreskan,
            Kaca-kaca itu retak. Hingga kini tak kunjung penganiayaan itu berhenti. Aku mencoba bekerja sebagai kuli bangunan atau membantu disawah. Yang ada aku tak betah karena selalu saja salah dan dimarah-marah. membuka les, mengajar diTPA, nihil semuanya dibakar oleh ayah. Aku putus asa.
            Mencari bantuan kepada beberapa orang yang kusebut ustadz atau yang mengerti agama. mencari kerja disekolah-sekolah muslim, hasilnya bantuan setengah hati. Bahkan ada satu orang yang membenciku bersikap tidak profesional, dengan menjatuhkan nilai tesku. Kecewa, sangat kecewa karena mereka semua adalah sosok yang kukagumi.
            Lari aku lari menyusuri malam ketika ayah kumat ingin mengusirku, aku berteduh dibawah naungan masjid, bercerita pada imam masjid atau orang yang ahli didalammnya, tak ada yang peduli, semuanya sibuk pada urusan pribadi, orang miskin sepertiku tak pantas dihiraukan barangkali. Merintihku dikegelapan malam diemper toko saat hujan mengguyur, tak bisa tidur karena nyamuk yang begitu jahatnya menari-nari ditengah kepedihan yang kualami.
            Bersambung.
 (cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan toko dan tempat kejadian hal itu hanya kebetulan belaka)
Pagaralam 2011.

Fatamorgana

Fatamorgana



Imam Apriansyah

Aku sendiri tak mengerti
Mengapa liku ini tak kunjung kupahami…

Berat sayap yang kukepakan
untuk terbang melintasi prahara hati
entah maunya apa hati ini, kacau balau dihempas mabuk nurani

hampa nian
kering kerontang haus dahaga
bak kemarau panjang panas cuaca…

mencoba bersandar pada pohon hijau
dibawah naungan khutbah ulat dan pidato rayap.
 Pohon pun roboh
 tumbang merusak bangunan kalbu

fatamorgana….
bersandar pada pohon lapuk yang hijau hanya membikin hati tambah kecewa.

pagaralam 2011.

Lebih Dari Indah

 Lebih Dari Indah


oleh: Imam Apriansyah

Menatap mentari yang terbit pelan-pelan. dibalik bukit itu separuh cahaya jingganya  menembus cakrawala. Pohon-pohon beringin tertiup angin pagi yang berhembus dari gunung dempo. Daun-daunya yang menguning itu runtuh mengemas riwayat ditanah.
“kamu tetap akan mencintainya.”
“siapa?”
“ratna. bukankah dia sepertinya tak membalas cintamu”
“kamu tak mengerti mawar. Ia begitu istimewa. Dan aku tak akan berhenti untuk mendapatkan cintanya.”
Selalu kamu membuatku ciut. kamu sepertinya tak melihat sorot mataku yang memberi pertanda cemburu. Aku kesal memendam rasa yang sudah lama membelenggu. Aku wanita duhai lelaki berhidung mancung, tak wajar jika aku duluan yang mengungkapkan rasa ini.
“sampai kapan?”
“maksudmu?”
Aku kikuk. Tak kusadari bibir ini menceracau hingga terucap kata itu.  Barangkali tak mampu menahan luapan perasaanku terhadapmu. Aku sejenak  terdiam dan hanya mampu menunduk.  tak sanggup menatap hujaman matamu yang selalu ingin membuatku menangis rindu.
“ e, em... maksudku, sampai kapan kamu akan menantinya? Bukankah masih banyak wanita yang mengharapkan cintamu. Termasuk orang yang berada disampingmu ini.”
“???”
“jangan GR lho, aku cuma menghiburmu”
Dan kamu mencubit hidungku.
“aww. Sakit tau!”
“kamu sih. Aku serius mawar.”
“aku juga serius. Aku Cuma kasihan sama kamu.”
“kasihan? Kenapa? Adakah yang patut dikasihani.”
“kamu juga nggak mengerti mad, siapa Ratna sebenarnya.”
“Ratna  yang katanya cewek matre itu, sudahlah mawar kamu jangan terlalu termakan gosip murahan itu.”
“bukan itu saja.”
“ia wanita murahan?”
“bukan itu saja”
“lalu?”
Bibirku lagi-lagi membeku. Sorot matamu membuatku bertekuk lutut dihadapanmu. Aku kalah, berkali-kali kalah. untuk sekedar menatap matamu dan mengatakan kata yang bagiku sakral itu aku tak mampu.
Dedaunan kembali runtuh. angin gunung itu berhembus kencang, menerpa kita beberapa helai daun yang sudah menguning. Bangku yang kita duduki telah mengering embunnya, dihisap mentari yang mulai meninggi. Sinarnya pun menerpa sebagian kaki kita. Sebagiannya lagi dihalangi pohon beringin yang tumbuh banyak di taman ini. Beberapa kendaraan mulai berlalu lalang, hiruk pikuk pengunjung ramai. Yang Rata-rata adalah remaja dan pasangan muda yang hendak ngobrol atau sekedar menghabiskan waktu libur hari minggu mereka, sembari memadu cinta ditaman yang nuansanya romantis dan indah.
Burung-burung  gereja bercanda ria. Terbang bebas dari ranting cemara.
“mawar?”
“ehm, “
“kamu belum menjawab tanyaku.”
“yang mana?”
“argggh. Kamu selalu selalu begitu”
“wew, bukankah semuanya sudah jelas sobat.”
“aku tetap akan mencintainya, mawar. Apapun yang orang bilang.”
“terserah kamu lah. o ya mad.”
“iya. Kenapa?”
“ijinkan aku menyanyikan sebuah lagu kesukaanmu.”
“yang mana?”
“ lagu Nikita willy, yang judulnya lebih dari indah.’’
kamu suka?”
Aku mengangguk. Aku mulai  menyukainya sejak kamu menyukainya rahmad, bisikku dalam hati.  Dan aku mencoba menyanyikannya.
Bergetar  hati ini saat mengingat dirimu
Mungkin saja diri ini tak terlihat olehmu, aku sadari itu
Bagaimana caranya agar kamu tahu bahwa kau lebih dari indah
Didalam hati ini
Lewat lagu ini kuingin kamu mengerti: aku sayang kamu
Kuingin bersamamu.

mawar... Kamu menangis.’’
‘’terlalu mendalami makna lagu itu barangkali.”
“hehe. Aku suka. Suaramu bagus.”
“biasa saja mad. Lebih bagus penyanyi aslinya.” Kataku. Dan berlalu meninggalkanmu pulang kerumah. Kamu sempat bengong kulihat. Tapi semuanya kulakukan untuk menutupi air mataku yang tak terbendung. Aku mencintaimu dan aku tak ingin merusak bahagiamu.
***
“tumben disenja begini kamu ajak aku kesini.”
“kita dulu kan waktu masih kecil sering kesini. Kamu sudah lupa ya? Kita sering sama-sama mencari kupu-kupu atau capung disini.”
“rahmad.”
“matamu pasti berkaca-kaca.”
“aku tak akan melupakannya rahmad.”
“suamimu?”
Kenangan itu menyeruak dalam ingatanku, saat mas wiro orang yang kusebut suami baru seminggu harus meninggal tenggelam diempang desa gara-gara ingin menangkap seekor kupu-kupu yang hinggap ditongkat yang menancap. Tak terlalu dalam. Namun aku tahu betul mas wiro tak bisa berenang. Tak  ada orang waktu itu. Keadaan sekitar empang sepi, karena tempat yang terkesan angker itu anak-anak atau warga tak berani sembarangan mendatanginya.
Harus sedini itu usia pernikahanku.
“mas wiro mad.”
Aku menangis sesenggukan dan merebahkan tangisku didada rahmad. Ia seolah membiarkanku untuk menangis sejadinya. Ia mengambil HP disakunya dan memutar lagu kesukaan mas wiro. Ungu untukmu selamanya.
Tangisku bertambah deras. Kupu-kupu pulang keperaduannya. Senja sebentar lagi akan habis dimakan malam. Air empang menarikan lagu yang menertawakan. Ada bayangan dan tangis mas wiro disana. Dan  Lambat laun tangisku pun reda.
“mawar....”
“iya.” jawabku dengan suara yang sedikit parau
“aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu. Kuharap kamu juga bahagia mendengarnya.”
“apa itu mad? katakanlah.”
“aku akan segera menikah.”
“dengan siapa? Secepat itukah. Lalu bagaimana dengan kita.... em maksudku persahabatan kita? Aku takut kamu bakal melupakanku.”
“tidak akan pernah mawar. Persahabatan kita abadi.”
“bukankah tak ada yang abadi.”
“dan tidak pada sebuah persahabatan yang dilandasi karena cinta kepadaNya.”
“tapi?”
“tapi apa war.”
“aku.....”
“mengapa denganmu?”
“ah sudahlah. Lupakan saja. Oh ya kapan kamu akan melamar ratna.”
“ratna?”
“iya ratna. bukankah dia gadis yang kamu impikan selama ini?”
“bukan mawar.”
“lalu siapa, adakah wanita baru yang telah mengusik hatimu? Lalu ratna bagaimana?”
“aku sedang ingin melupakan gadis yang tak tulus mencintaiku itu dan sedang jatuh cinta pada gadis yang dengan hatinya mengharapku tanpa kesan mengumbar.”
“siapa gadis beruntung itu? Katakan padaku.”
“dia selalu menghias cerita masa kecilku. Dia cantik. Agak tomboy sih tapi paling cantik kalau sedang marah.”
“rahmad kamu membuatku penasaran. Santikah? Atau nina?”
“bukan.”
“lalu siapa?”
“kamu mawar. Kamu telah membuatku jatuh cinta.”
“betulkah yang kamu katakan itu? Atau kamu hanya ingin membuatku ge er”
“demi senja yang diciptakan untuk kita. Kamu selalu saja menghantui tiap detik waktuku.”
“kamu membuat wajahku memerah. Rahmad.”
Dan senja berguguran. Warna jingga diufuk barat berangsur memudar. Tinggal titik-titik sisa cahaya yang juga beranjak  sirna.
Pagaralam,16 september 2011. 11.00 Wib