Tak mungkin rembulan menyapa raut malam yang gelap berawankan hujan, tapi aku yakin purnama kan datang sebagai seberkas cahaya yang selalu kurindukan.....
Rabu, 28 September 2011
Selasa, 27 September 2011
Sebuah Semangat Menggores Pena
Sebuah Semangat Menggores Pena
(Oleh Imam apriansyah)
24desember 2010, cuaca senja berhias rintik gerimis. Pelangi membentang
merona diufuk timur kota
pagaralam. Gunung denpo nampak tertunduk sendu diselimuti awan. Saya mencari
rintik-rintik imajinasi dibawah langit pagaralam yang jingga menawan. Rindu
menggores baris-baris puisi atau fiksi.
Pelipur lara dikala hidup tak lagi memberi arti.
Saya petik lembaran buku-buku usang
ditaman aksara. Mochtar lubis mengajarkan saya semangat menulis dan segudang
karya kreatifnya .Lewat cerpen si jamal(1950) dan perempuan(1956). seorang
sahabat membisikan kata-kata penyemangat. Jadi penulis harus baca buah karya
para penggores pena seperti piepit senja, asma nadia, fahri asiza,gola gong,
dan helvy tiana rosa.
Kau juga mestu menjelajah ukiran
sajak chairil anwar, karya sastra asrul sani idrus hamka, sedertan karya yang
tak habis dimakan masa.
Dalam segala kenangan yang mengendap dalam memori saya,menjadi
penulis telah saya impikan sejak usia yang sedang merajut remaja, kala
segalanya indah bertabur cinta anak belia.Diary Jadi saksi bisu.sastra telah
merubah paradigma hidup saya. Menjadi hidup yang lebih ada dari sekedar
ketiadaan.
Pengetahuan saya tentang segala
dunia goresan pena dan sederet apreasi saya terhadapnya semakin bertambah saat
saya mulai beranjak dibangku SMA. Bertambahnya volume motivasi yang membahana
dalam imajinasi saya saat cuaca kota
telah beranjak dewasa.
Berdiri tegap menyongsong arus
globalisasi yang mulai merambati kota
yang baru berdiri ini. Meski suasana sastra dan dunia kepenulisan masih awam
dimata masyarakatnya. Jikadibandingkan dengan
kota jogja atau sebuah kota
yang dijuluki paris
van java, tentu sangat jauh perbedaannya. Namun minat baca masyarakatnya boleh
dikatakan cukup tinggi.hal ini menjadi titik awal mengapa saya begitu tergugah
untuk terjun menekuni dunia pena. Saya
berharap dengan memprokalmirkan diri saya kedunia pena, akan ada beberapa
industri dunia buku yang akan bertandang kekota yang haus akan bacaan yang
bermanfaat ini.
Seklaipun
perkenalan saya dengan dunia dunia pena terbatas dengan selembar alasan. Berupa
fasilitas yang sedikit sekaldan tentu tak mencukupi. Namun sebuah majalh sastra
telah menghidupkan lentera semangatku untuk terus menapakinya.
Para
penyair Indonesia
seperti H.B jasssin, taufik ismail, dan jamal D Rahman yang memberikan kesan mendalam bagi saya. Dan saya mulai menikmati
dunia pena yang saya tapaki. Mulai percaya diri mengikuti berbagai kompetisi
menulis yang boleh dikataka pesertanya lebih dulu memsuki dunia yang bagiku
masih baru ini. Beberapa karya saya sempat diterbitkan, mseki sebelumnya
mendapat berbagai penolakkan. Namun hal itu malah menambah semangat saya
semakin membahana.
Asrul sani pernah mengatakan bahwa seseorang pengarang dunia paling banyak
menemukan diri dan bakatnya sebagai seorang pengarang adalah ketika mereka
berada disekolah menengah. Saya
merasa pena ini telah menggores
karya sejak masa SMP. Hal ini membantu
saya untuk terus berkarya meski masa penekunana itu baru muncul ketika berda dalam suasana kampus.
Saya selau berusaha berkaca pada
penulis-penulis senior dengan selalu belajar dan membaca kary-karya phenomenal
mereka. Agar pena saya semakin tajam dam menembus cakrawala satra lebih dalam.
Saya berharap langit jingga yang menyelimuti kota pagaralam diujung
senja ini akan berubah bintang bertaburan karya karya anak-anak yang lahir
ditanah yang berada diakai gunung dempo yang indah.
Pagaralam
, pria penyimpan air mata 27 april 2011.
21:00 wib
Pantai Kenangan( Bersama Bunda)
Pantai Kenangan(
Bersama Bunda)
Oleh Imam Apriansyah
Serpihan badai mencengkram erat puing-puing kelemahanku
Gerimis abadi pun ikut meramaikan aroma pantai yang kelabu
Membasahi tepian bahterah yang rusak diterpa parang
gelombang
Diberanda masih berwarna duka
Dalam hiruk pikuk perkabungan yang tajam menerkam tiap sudut
kenangan
Karang-karang membisu
Dihempas puing-puing buih keruh
Langit pagi berkabut
Hitam kelabu terpendar dipermainkan badai gemuruh
Diruang usang berjelaga dengan lantai kelabu
Kerlipan senyummu merapuh membeku
Air mata jadi doa pengiring tubuhmu yang membisu
Membujur diranjang yang panjang berhias keranda kayu
Ratusan kalimat cinta tergores dilautan hatimu
Yang setiap senja tiba kau ukir bersama layar-layar bahterah
yang bersandar didermaga
Kini terhapus tiap
baitnya
Dijilati ombak perkabungan yang meremukkan asa
Dan diri ini kian rapuh
Terkapar dihempas gelombang kesedihan
Bunda…
Merajam sudah bau busuk cuaca
Kucari celah tuk dapat menghapus tiap jengkal duka
Namun tubuh ini seolah tak bernyawa
Tenggelam dalam hamparan panorama kuncup kamboja
Sulit nian kan
kurengkuh lagi hangat kasihmu
Terpasung sisa bau karangan bunga ditanah merah yang abadi
Terkubur asaku yang mendamba menghabiskan sisa senja
dipantai biru
Kala tubuhmu masih mampu menjadi tempatku mengadu dahulu
Bunda …
Laut seperti memantulkan sepasang kesedihan
Dan aku masih duduk disini, dipasir pantai kenangan
Menggores-gores bibir pantai kala senja tiba
Agar tak lagi merajam sukmaku yang sunyi tanpamu
Pagaralam, pria penyimpan air
mata, 07.05.2011. 12.15 wib Nama
Kala Kalbu Meramu Rindu
Kala Kalbu Meramu Rindu
(Oleh Imam Apriansyah)
Ketika bulan memajang rindunya pada ramadhan
Malaikat-malaikat bersayap putih menggetarkan telungkup
rindu
Runtuhkan kesunyian denting
malam
Aroma air mata keimanan terbentang, menghias takbir dan salam ditepian kalbu,
tentram.
Sujud syukur kesyahduhan menggema dipenjuru alam
Merangkul hektaran rindu bulan bercahaya kemenangan
Indah damai, amal pahala dilipatgandakan
Rahmat dan ampunan tercurah dirisau keresahan, menjelma
merona pintu surga dibentangkan.
Riuh tetabuhan bunyi dentang genderang sahur
Ramaikan sebongkah rindu tanpa sayap
Kendalikan nafsu diri dipepat kalbu, menggores keutamaan
ditiap geliat waktu.
Penuh gairah ganjaran
Segala kebaikan meramu haluan, mencipta cahaya menyinari
jalan menghapus goresan kelam.
Duhai bulan bersayap rahmat
Duhai bulan bertahta mulia dicipta,
Ramadhan bermahkota mulia namanya,
Yang Tuhan datangkan kembali mewarnai hidupku, malu aku yang
tak mampu mensyukuri nikmat RamadhanMu dahulu
Takabur kufur mencandui jiwaku
Merasa sempurna bersayap patah, membantai segala perintahMu
Menjalari keangkuhanku
Harapan yang kadang menjelma keharusan
Kupinta dengan paksa seolah ku paling tahu kebenaran dan
Ketika tak Kau kabulkan
Jiwa merasa tak pernah nikmat diberikan
Ya Rabb Dalam segala lemah imanku
Doaku mendekap segala keluh kesah keresahan batinku,yang
berdosa karna tergoda cakrawala nafsu
Izinkan aku mengetuk guratan cahaya RamadhanMu
Izinkan aku bersua rindu ditiap sujud ibadahku
Demi bulan yang kau muliakan ampuni hina kerapuhanku.
Pagaralam , 6 juli 2011.
*puisi ini masuk dalam antologi puisi mengukir cahaya ramadhan
*puisi ini masuk dalam antologi puisi mengukir cahaya ramadhan
Kain Kusut Yang Kurindukan Nyatanya
Kain Kusut Yang Kurindukan Nyatanya
Oleh Imam Apriansyah
Waktu menyeretku pada ujung
benang, memintal kekusutan yang merambah kain kafan
Detik-detiknya menyimpan perangkap sekaligus taman bermain
dimasa belia.
Dan Langkah-langkah kecilku dihantui masa
menjelma sebagai
sejumput rindu dalam pusaran lara.
Aku terdiam
menjamah hati yang kian dahaga,terpasung dalam
deretan bimbang rasa.
Rasa yang tak biasa,
menghamparkanku lagi pada kenangan pahit meniti titian tanya.
.
Kain kusut itu kini telah berubah parang izrail, sayup-sayup
suaranya merenda kerinduan
“sudah satu detik tak kujamah
nyawa” katanya.
Sementara taburan kamboja mengering,
kesal menanti janjiku yang tak kunjung ditepati. Hari ini ia merintih,
merebahkan diri pada dada tanah basah
Nisan-nisan yang kokoh bertancapan,
memasung namaku yang telah dipesan hari ini.
Duh maut…
Mengapa hadirmu menjebakku pada
penjara gundah, mengapa harus secepat ini kau datang menyanyikan dongeng surga.
Taman-taman mimpi sederhanaku bersama ayah, haruskah segalanya
hanya sebuah lagu omong kosong belaka?
Ku meminta pada maut,
Beri aku waktu sekali lagi,untuk memintal benang kusut itu
sejenak menjadi sebuah kain sederhana
Sehari saja…
Agar kudapat menyibak tirai asa yang telah lama kurindukan
nyatanya.
diruang berjelaga, Sebuah Tanya diserpihan nuansa
Senyata Ayah yang kucinta
dimanakah berada…
Pagaralam 10
agustus 2011 11:14 wib.
Surat Kecil Untuk Ayah
Surat Kecil Untuk Ayah
*flash fiction*
(oleh Imam Apriansyah)
Sebuah kepingan
kehidupan yang mesti kujalani.
Pagi ini aku
sendiri, mengeja aksara yang terbata-bata kupahami. Sepucuk kertas usang yang
nampak telah lama sekali disimpan rapat dari pengetahuanku. Isinya ,mewakili
segala jati diriku.
Sekedar melepas lelah, aku duduk di
tepi dipersimpangan jalan sebuah kota.
Diterpa gerimis kecil yang senyata mengguyur tubuh dekilku. Bekalku telah
habis, hanya tersisa uang dua ribu rupiah dikantung celana. Padahal
perjalananku belum usai, meski telah mencapai kota
yang dituju, tetapi aku sampai tak menyadari kalau aku belum pernah menjamah kota ini.
Aku duduk termangu, menatap papan
hijau bertuliskan “kabupaten Cilacap” diseberang jalan.
` “pergi dari sini anak haram!!” bentak
ayah kepadaku. Semalaman aku tidur dikandang ayam sebagai hukuman atas
kecerobohanku. Dipukuli bahkan dihempaskan kepalaku kedinding reot itu. Aku
hanya diam saja, tak dapat melawan, hanya tangis bersimbah darah dikepala.
Mang sadi tetangga rumahku terenyuh
menatapku, ia menolongku dan membawaku kerumahnya, ibu kulihat hanya menjerit
menangis memohon-mohon kepada ayah, agar tak menghajarku lagi. Yang kurasakan
hanya mual, pening dan pandanganku buram, berganti gelap.
“pergilah nak, semoga kau temukan
ayahmu”
“ibu, aku akan kembali, aku janji”.
Kataku setelah kupahami rahasia yang terpendam selama ini. Akhirnya kumengerti
mengapa ayah sebegitu kejamnya kepadaku. Aku hanya anak pungut yang diambil
setelah ibu kandungku melahirkanku. Hanya surat
dan bongkahan nisan bertuliskan nama ibu kandungku yang ia wariskan “Ratna”.
Kubaca surat itu pelan
“Anakku
Ibu mungkin tak sempat memberimu hangat ais susu,
memberimu hangat pelukan seorang ibu, ibu terlalu pengecut untukmu nak, tetapi
ijinkan ibu bercerita tentang suatu kisah yang mesti kau tahu, ini menyangkut
statusmu kelak ketika kau telah dewasa. Berat rasanya tapi ibu tetap harus
bercerita.
Ibu
hanya anak seorang pembantu rumah tangga dikeluarga seorang pengusaha, orang
tua ibu telah meninggal dan ibu yang meneruskan menjadi babu dirumah itu, suatu
hari anak majikan ibu jatuh cinta pada ibu dan ibu menerimanya karena ibu juga
mencintainya,tetapi cinta kami tak direstui,ibu hamil nak dan ibu diusir dari
sana, ibu bingung, dan ibu lari kekota kecil ini, mengandungmu dengan susah
payah, tapi ibu tak sedikitpun punya niat menggugurkanmu, karena kau punya hak
untuk tetap hidup nak.
Satu
yang ibu pinta, cari ayahmu jika kau telah dewasa dan berikan surat ini kepadanya itu saja nak.
Salam hangat,
Ibumu yang tak berguna.”
****
Kulangkahkan kembali kakiku
menyusuri tepian jalan yang mulai ramai.
“ojek de” seru
seorang tukang ojek.
“nggak bang
trimakasih, Cuma mau Tanya alamat ini, tau nggak bang?”
“ oh rumah bapak
andi? Itu de’ rumah yang diseberang yang No.20”.
“ oh makasih ya
bang”
“ sama-sama
de’.”
Seorang pria paru baya sedang
bersenda gurau ditaman rumah dengan seorang wanita yang aku tak tahu siapa,
disampingnya anak perempuan seumurku, memeluknya manja. Aku hanya termangu
didepan gerbang rumah megah itu,
“pengemis ya?” pria itu melemparku
dengan selembar uang seribu rupiah dengan sombongnya. Sakit menyelusup hatiku
namun kucoba untuk tetap ramah dan bertanya;
“ bapak Andi hadiningrat ya?”
tanyaku gugup.
“iya anda siapa, maaf saya sedang
sibuk.”
Ingin menangis
dan memeluknya, pria itu ayahku, ayah kandungku, tetapi aku tersadar ia ta
mengenalku, bahkan mungkin taka kan
mau mengakuiku. Aku melempar surat
titipan ibu dan berlalu.”aku janji taka akan menemui ayah lagi”. Jeritku dalam
batin.
Kepingan
hidupku,
Pagaralam,
14 agustus 2011,09.45.
Dan Aroma Laut
Dan Aroma Laut
o
Imam Apriansyah
Dan aroma laut ini telah kujilati deburnya, selayak rasa yang menghendaki sebuah pertualangan hidup
Bergemuruh airnya menghempas-hempas bibir pantai, sempat meluruhkan semangat melayarinya
Dan aroma laut semoga bukan akhir perjuangan maut, masih panjang badai yang mesti ditepis
Jika mati nahkoda disepenggal perjalanan akan kemanakah muara kan kita tuju…
Kelak jika kita tabah melayarinya, ombak kan seperti bualan belaka
Hanya serpihan tetes pil pahit yang mendewasakan bahterah.
Berlayarlah
Ciumi aroma laut
hempaskan badai yang menghalangi langkah nahkoda
dan jabat buncahan makna.
Pagaralam 10-08-11 11:57 wib
Tapak Malin Kundang
Tapak Malin Kundang
(Imam Apriansyah)
Seperti kapal-kapal menumpahkan
penantian bagi dada pelabuhan Teluk Bayur.
Kudatangi istana pantai air manis
yang merona sejarahnya
menyusuri jembatan siti nurbaya
dan mata menyaksikan asrinya,
rindang pepohonan hijau mendamaikan asa yang gundah gulana.
“Batu malin kundang saksi sejarah
Riwayat tanah wanita tua yang didurhakai
anaknya.
Ketika wanita bernama ibu itu,mengemas
riwayat dalam sumpah serapahnya;
Senyata Anak semata wayang yang
susah payah ia pelihara.
Digerus keangkuhan,dibutakan
kemolekan harta , tahta, wanita.
Batu malinkundang saksi bisu cerita
kelabu
Dipantai manis tertancap batu
kutukan
Sesosok anak adam yang lupa daratan
Jadi batu…
Membisu,sujud dijejak kaki sang
ibu”.
Aku sampai pada jejak sejarah yang
membikin sadar jiwa
bahwa doa ibu itu cepat ijabahnya.
Senja di Beranda
Senja di Beranda
Imam Apriansyah
Senja
diberanda. Sebuah rutinitasku menantimu pulang kerumah. Disini aku sering
merasa bahagia. Kebahagiaan yang tak mampu terucapkan oleh kata-kata. Kala
melihatmu membuka pintu pagar rumah kita. seketika jantungku berdegup
kencang,serasa pertama kali kita berkenalan dahulu. Entah apa yang membuatku
sebegitu gugupnya untuk sekedar menatap sorot matamu yang menghujam.
Diberanda
sudah siap secangkir teh hangat dan kue bola, hidangan kesukaanmu. Aku buat
khusus untukmu. karena kau bilang hari ini pertama kali kau mencicipi kerja kerasmu.
kau naik pangkat dikantor tempatmu bekerja.
Ada yang berbeda. Senja kali
ini beraroma hujan. Hujan yang deras sekali, percikan airnya sesekali mengenai
beranda rumah kita. Membasahi jilbabku, lembut seperti embun namun membuatku
sedikit menggigil. Aku tak memperdulikan semua itu, segalanya jadi sesuatu yang
biasa saja saat aku mengingat wajahmu dan ku usap peluh didahimu yang mengucur
karena seharian bekerja.
Diluar
sana anak-anak
kecil berlarian bersama ayah dan bundanya. Mencari tempat berteduh agar tubuh
mereka tak basah kuyup. Tak ada rasa cemas diwajah mereka. Yang ada hanya
senyum ceria. Rasanya indah sekali hidup mereka. Dan Aku jadi ingat ucapanmu
tempo hari, saat kau mengatakan merindukan seorang putra yang hadir
ditengah-tengah usia pernikahan kita yang kesepuluh tahun ini.
“sayang,
kapan ya kita bisa seperti mas andi, anaknya sudah 2 loh”.
“nanti
sayang, kita mesti bersabar, Allah pasti pengen kasih yang terbaik buat kita.”
kataku menghiburmu. Dengan raut wajah menyimpan segala rahasia tentang vonis
mandul yang membelengguku. Dan kau hanya tersenyum, senyum yang membuatku lega.
Hujan
hampir redah, hanya tinggal sisa-sisa gerimis yang menghias senja diberanda.
Dedaunan dihalaman rumah runtuh dari pohonnya. Angin senja membekukan teh yang
mulai berubah suhunya. Kue bola sudah meleleh gulanya, dihisap lapisan-lapisan
embun senja.
Diluar
pagar rumah kita sebuah mobil mewah bersandar didepannya. Seorang perempuan
berambut panjang keluar bersamaan denganmu, membuka kedua pintu mobil bersamaan
pula. Ia memegang tanganmu erat. Dan mencium pipi kanan dan kirimu. Rasa sakit
dihati karena menahan cemburu dan kesal merona dipipiku. Aku tak lagi
menghiraukan penantian panjangku diberanda. Membuka pintu rumah dan langsung
menuju kesofa, dan air mataku jatuh juga. Namun ku segera mengusapnya.
“
pa sudah pulang?” kataku pura-pura tidak tahu apa yang kusaksikan barusan.
“iya”
jawabmu dingin. Tak seperti biasanya, kau lebih dingin,sedingin hujan senja
ini.
Dan
kau berlalu meninggalkanku terpaku sendiri. aku yang ingin sekali memelukmu
untuk sekedar bertanya bagaimana dengan pekerjaanmu hari ini. Bahagiakah engkau
hari ini. Atau sekedar mengusap peluh didahimu seperti biasa, saat aku
menantimu diberanda kala senja.
Sebulan
lamanya kau mendiamkanku. Pulang larut malam dengan mulut bau minuman. Jika aku
bertanya sedikit saja kau lebih memilih pertengkaran .Kemarahan yang tiada
ujungnya. Sampai-sampai kau berani menampar pipiku dan berlalu meninggalkanku tanpa
jawab yang jelas.
Aku
tak tahan lagi dengan sikapmu akhir-akhir ini. Mencoba mencari sebab
perubahanmu. Kali ini sebuah Senja tak kulalui lagi diberanda. Aku mencarimu
ditempat kerja, tapi tak kudapati kau disana. Seorang satpam kantormu bilang
kau sudah pulang bersama seorang wanita yang ia akui adalah anak pemilik
perusahaan yang kau pimpin. Dan Ia memberiku alamat rumahnya.
***
“ibu
siapa ya?”
“saya
rekan bisnis pak suyono, kemarin ia menelepon dan mengundang saya keacaranya.
Ngomong-ngomong acara apa ya pak didalam?maklum pak suyono suka buat kejutan
kalau mengundang.”
“oh,
pak suyono sedang mengadakan acara syukuran, putrinya sudah hamil bu.”
“wah
emang putrinya itu sudah menikah ya, siapa suaminya pak?”
“wah
ibu ini bagaimana masa rekan bisnisnya sendiri nggak tahu, he-he-he. Namanya
Dimas Subardjo, pimpinan baru perusahaan bapak suyono.”
Itu
namamu mas. Dan aku hanya mampu menangis
di seberang pagar rumah yang beraroma senja, melihat engkau bergandeng mesra
bersama wanita yang sedang hamil muda diberanda rumah.
Kesetiaan
Imam Apriansyah
Kesetiaan bukan lagu omong kosong
Tentang janji yang sesumbar kau ucapkan didermaga, kala diriku harus
meninggalkanmu sendiri didesa yang menyimpan banyak penggoda.
Kesetian bukan janji ombak pada karang
Yang hanya datang dan pergi begitu saja.
Kesetiaan bukan pula sumpah setia kapal pada dermaga, yang tak tahu
kapan ia akan kembalinya.
Sayang,
Tiga kata setia yang pernah kau ucapkan dahulu. Aku melihatnya dengan
mata menganga
Terbakar dihamparan bumi yang dilanda kemarau dusta. Api kebohongan yang
panas telah memakan habis, hangus tanpa sisa.
Dan jalan pulang ini juga mendongengkan cerita tentang sebuah kesetiaan,
dengan wajah yang memucat riwayatnya patah.
Lagi-lagi sebuah kesetian itu bukan sekedar kata gombalisasi yang basi kau
pahami
Seperti hendak mengekal
ia merubah tubuhnya sebagai
sesosok wanita yang tak berhenti menangis karena ditinggal suaminya kawin lagi.
Kesetiaan bukan sebuah bualan penyair
Bukan pula tipuan para penyihir
Tapi,
Kesetiaan adalah cinta yang terukir tulus hingga bumi berakhir.
Pagaralam 16 september 2011. 11.00 wib
SESEORANG YANG SEPERTI MATAHARI
SESEORANG YANG SEPERTI MATAHARI
Imam Apriansyah
Barangkali sayur mayur ini jadi saksi kita salam memahami gelagat hidup
Dini hari kita bopong bersama menjajaki jalan kiloan meter menuju pasar kota
Doa yang terlantun dibibirmu tak henti bergulir, seperti udara dingin disepanjang jalan bertanjakan
Sampai kita pada riuh keramaian, menawarkan sayuran yang kau ikat semalaman
Terkadang aku melihat reruntuhan hujan mengoyak hatimu
Seperti sayuran yang tekapar layu, tak laku.
Kau halau awan ketika senja terdampar diruang berjelaga
Tak berbekas persembunyian airmata ditanganmu, hanya nyanyian sunyi
Bercokol dalam senyum yang kau tawarkan.
Ketika malam merayapi sujudmu, menarikan juntaian harap disajadah.
Engkau disitu menuai mimpi tentang sayuran yang menciptakan kenangan angin dan hujan
Orang-orang beranggapan engaku adalah pohon rindang
Sementara aku melihatmu sebagai matahari yang menembus langit malam.
Pagaralam 12 agustus 2011 02:30 wib
Fragmen Waktu
Imam Apriansyah
Dalam renunganku mencarimu cahaya waktu, kuterpasung dalam pusaran gamang yang sendu
Lorong waktu mendamparkanku pada labirin ketidakpastian
Ketika serpihan bernama kepedihan harus kandas diterjang karam cahayaku.
Sayup-sayup suaramu mengoyak habis sisa-sisa indahnya ruang mimpi
Mimpi yang dahulu selalu datang ditiap desah munajatku.
Kudendangkan lagu yang mengisi perjalanan pahit itu;
Wajar bila saat ini kuiri pada kalian
Yang hidup bahagia berkat suasana indah dalam rumah….
Duhai waktu yang kucari ujungnya
Ijinkan aku merebahkan kelu pada ribuan Tanya yang menggebu.
Pagaralam.2011.
Diary Depresi (sebuah fiksi)
oleh Imam Apriansyah pada 02 September 2011 jam 20:14
Diary Depresi
Entah dari mana kan kumulai kisah ini-kisah yang kata sebagian orang adalah sebuah cerpen dramatis, mellow dan berisi hal-hal cengeng. Tetapi mereka terlalu kolot memahami arti sebuah diary. Ya, kisah ini nyata selarik diary yang kutulis sendiri. Aku pasih menyebutnya diary-diary depresi. Pas sekali dengan sebuah lagu yang terlanjur kusukai, hampir sama persis dengan semua perjalanan hidup yang kulalui.
Aku berdiri didepan cermin, menengok kebelakang dengan kaca masa depan. Mencoba membacakan diary-diary perih ini. Dan air mata, penghias ditiap bibir melantunkan butir-butir aksara didalamnya.
Ku terlahir dengan sambutan dingin.24 november 1990, hari yang sangat bersejarah bagiku, hari ketika aku dapat menghirup kejamnya aroma dunia, menjadi seorang bayi yang mengalami nasib yang tak mengenakkan. Sangat tak adil bagiku, ketika kasih sayang seorang ayah yang kurindu ternyata hanya sebuah dongengan malaikat ketika kutumbuh didalam rahim ibu. Hanya satu hal yang memang malaikat tak berbohong padaku adalah seorang perempuan tua yang rela mati demi aku, ia sangat lembut dan penuh kasih sayang, tak pernah sedikit pun mengeluh mengurusku. Merawatku tanpa peduli tubuhnya yang sudah mulai rapuh.
Ia membesarkanku. Beranjakku pada masa kanak-kanak, ketika malaikat lari menjauhiku, aku sudah terlalu besar untuk selalu dipeluk sayap-sayap lembutnya. Hanya ibu dan dzat yang kukenal bernama Tuhan yang selalu menguatkannku, ibu selalu mengenalkanku kepadaNya, lewat sholat dan mengaji ditiap lima waktu. Aku jadi damai saat bersamaNya lewat keluh munajatku, aku pun lama-lama jatuh cinta padaNya.
Ketika masalah melanda, ku selalu berdoa kepadaNya. Apalagi ketika ayah memukul dan menghajarku saat sebuah kesalahan sekecil dzarah kuperbuat, atau ketika aku menyebutnya ayah, ia marah seketika dan menyebutku “anak haram” sambil kepalaku dibentur-benturkannya ketembok. Darah bercucuran mengalir deras sederas tangisan yang menetes dipipi mungilku.
Aku anak ketujuh dari delapan bersaudara, namun diantara ketujuh saudaraku Cuma aku yang sangat dibenci ayah dan Cuma aku pula yang sangat disayang ibu. Dua sisi yang membikin galau dihatiku, sebuah dilema berkepanjangan yang sering mengusik relung keyakinanku akan doa yang selalu kupanjatkan pada Tuhan yang kusembah. Aku jadi sering marah-marah padaNya bahkan sempat bosan berdoa padaNya.
Diusia remaja, saat masa labil melanda, saat rasa ingin tahu begitu membuncah, disaat jiwa membrontak mendambakan jati diri. Aku sempat mengenal ia, tuhan yang sebenarnya adalah berhala. Damai yang semu membuaiku lama. Aku lari dari rumah, mendapat kasih yang sebenarnya adalah neraka. Terlarut aku dalam dunia kelam bernama keyakinan sesat. Terlalu menggiurkan, ketika yang ditawarkan adalah cinta kasih orangtua yang sempurna, namun sebenarnya tak tulus, ia menginginkanku jadi boneka untuk menyebarkan missi sesatnya.
Aku mulai merasa gundah, hidup bahagia namun jiwa kosong. Beda saat aku dahulu sering sujud kepada Tuhan yang ibuku kenalkan dahulu. Aku pun kembali dituntun mengenalNya oleh beberapa orang yang kusebut sahabat.
******
Aku begitu lemah; iman, keterampilan bahkan untuk bersosialisasi pun sangat susah. Tak jarang kudisebut kuper, autis, dan segala sesuatu yang berkonotasi buruk kerap dilekatkan sebagai sebutan yang pantas untukku.
Aku jadi iri pada anak-anak sebayaku yang bebas berekspresi, lincah berprestasi. Aku hanya diam, sekolah, pulang, dimarah –marah. Hanya imajinasi yang kutorehkan lewat kata, lewat diary, lewat puisi-puisi. Sebagai pelampiasan kekesalanku dalam mengarungi perih yang ayah goreskan,
Kaca-kaca itu retak. Hingga kini tak kunjung penganiayaan itu berhenti. Aku mencoba bekerja sebagai kuli bangunan atau membantu disawah. Yang ada aku tak betah karena selalu saja salah dan dimarah-marah. membuka les, mengajar diTPA, nihil semuanya dibakar oleh ayah. Aku putus asa.
Mencari bantuan kepada beberapa orang yang kusebut ustadz atau yang mengerti agama. mencari kerja disekolah-sekolah muslim, hasilnya bantuan setengah hati. Bahkan ada satu orang yang membenciku bersikap tidak profesional, dengan menjatuhkan nilai tesku. Kecewa, sangat kecewa karena mereka semua adalah sosok yang kukagumi.
Lari aku lari menyusuri malam ketika ayah kumat ingin mengusirku, aku berteduh dibawah naungan masjid, bercerita pada imam masjid atau orang yang ahli didalammnya, tak ada yang peduli, semuanya sibuk pada urusan pribadi, orang miskin sepertiku tak pantas dihiraukan barangkali. Merintihku dikegelapan malam diemper toko saat hujan mengguyur, tak bisa tidur karena nyamuk yang begitu jahatnya menari-nari ditengah kepedihan yang kualami.
Bersambung.
(cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan toko dan tempat kejadian hal itu hanya kebetulan belaka)
Pagaralam 2011.
Entah dari mana kan kumulai kisah ini-kisah yang kata sebagian orang adalah sebuah cerpen dramatis, mellow dan berisi hal-hal cengeng. Tetapi mereka terlalu kolot memahami arti sebuah diary. Ya, kisah ini nyata selarik diary yang kutulis sendiri. Aku pasih menyebutnya diary-diary depresi. Pas sekali dengan sebuah lagu yang terlanjur kusukai, hampir sama persis dengan semua perjalanan hidup yang kulalui.
Aku berdiri didepan cermin, menengok kebelakang dengan kaca masa depan. Mencoba membacakan diary-diary perih ini. Dan air mata, penghias ditiap bibir melantunkan butir-butir aksara didalamnya.
Ku terlahir dengan sambutan dingin.24 november 1990, hari yang sangat bersejarah bagiku, hari ketika aku dapat menghirup kejamnya aroma dunia, menjadi seorang bayi yang mengalami nasib yang tak mengenakkan. Sangat tak adil bagiku, ketika kasih sayang seorang ayah yang kurindu ternyata hanya sebuah dongengan malaikat ketika kutumbuh didalam rahim ibu. Hanya satu hal yang memang malaikat tak berbohong padaku adalah seorang perempuan tua yang rela mati demi aku, ia sangat lembut dan penuh kasih sayang, tak pernah sedikit pun mengeluh mengurusku. Merawatku tanpa peduli tubuhnya yang sudah mulai rapuh.
Ia membesarkanku. Beranjakku pada masa kanak-kanak, ketika malaikat lari menjauhiku, aku sudah terlalu besar untuk selalu dipeluk sayap-sayap lembutnya. Hanya ibu dan dzat yang kukenal bernama Tuhan yang selalu menguatkannku, ibu selalu mengenalkanku kepadaNya, lewat sholat dan mengaji ditiap lima waktu. Aku jadi damai saat bersamaNya lewat keluh munajatku, aku pun lama-lama jatuh cinta padaNya.
Ketika masalah melanda, ku selalu berdoa kepadaNya. Apalagi ketika ayah memukul dan menghajarku saat sebuah kesalahan sekecil dzarah kuperbuat, atau ketika aku menyebutnya ayah, ia marah seketika dan menyebutku “anak haram” sambil kepalaku dibentur-benturkannya ketembok. Darah bercucuran mengalir deras sederas tangisan yang menetes dipipi mungilku.
Aku anak ketujuh dari delapan bersaudara, namun diantara ketujuh saudaraku Cuma aku yang sangat dibenci ayah dan Cuma aku pula yang sangat disayang ibu. Dua sisi yang membikin galau dihatiku, sebuah dilema berkepanjangan yang sering mengusik relung keyakinanku akan doa yang selalu kupanjatkan pada Tuhan yang kusembah. Aku jadi sering marah-marah padaNya bahkan sempat bosan berdoa padaNya.
Diusia remaja, saat masa labil melanda, saat rasa ingin tahu begitu membuncah, disaat jiwa membrontak mendambakan jati diri. Aku sempat mengenal ia, tuhan yang sebenarnya adalah berhala. Damai yang semu membuaiku lama. Aku lari dari rumah, mendapat kasih yang sebenarnya adalah neraka. Terlarut aku dalam dunia kelam bernama keyakinan sesat. Terlalu menggiurkan, ketika yang ditawarkan adalah cinta kasih orangtua yang sempurna, namun sebenarnya tak tulus, ia menginginkanku jadi boneka untuk menyebarkan missi sesatnya.
Aku mulai merasa gundah, hidup bahagia namun jiwa kosong. Beda saat aku dahulu sering sujud kepada Tuhan yang ibuku kenalkan dahulu. Aku pun kembali dituntun mengenalNya oleh beberapa orang yang kusebut sahabat.
******
Aku begitu lemah; iman, keterampilan bahkan untuk bersosialisasi pun sangat susah. Tak jarang kudisebut kuper, autis, dan segala sesuatu yang berkonotasi buruk kerap dilekatkan sebagai sebutan yang pantas untukku.
Aku jadi iri pada anak-anak sebayaku yang bebas berekspresi, lincah berprestasi. Aku hanya diam, sekolah, pulang, dimarah –marah. Hanya imajinasi yang kutorehkan lewat kata, lewat diary, lewat puisi-puisi. Sebagai pelampiasan kekesalanku dalam mengarungi perih yang ayah goreskan,
Kaca-kaca itu retak. Hingga kini tak kunjung penganiayaan itu berhenti. Aku mencoba bekerja sebagai kuli bangunan atau membantu disawah. Yang ada aku tak betah karena selalu saja salah dan dimarah-marah. membuka les, mengajar diTPA, nihil semuanya dibakar oleh ayah. Aku putus asa.
Mencari bantuan kepada beberapa orang yang kusebut ustadz atau yang mengerti agama. mencari kerja disekolah-sekolah muslim, hasilnya bantuan setengah hati. Bahkan ada satu orang yang membenciku bersikap tidak profesional, dengan menjatuhkan nilai tesku. Kecewa, sangat kecewa karena mereka semua adalah sosok yang kukagumi.
Lari aku lari menyusuri malam ketika ayah kumat ingin mengusirku, aku berteduh dibawah naungan masjid, bercerita pada imam masjid atau orang yang ahli didalammnya, tak ada yang peduli, semuanya sibuk pada urusan pribadi, orang miskin sepertiku tak pantas dihiraukan barangkali. Merintihku dikegelapan malam diemper toko saat hujan mengguyur, tak bisa tidur karena nyamuk yang begitu jahatnya menari-nari ditengah kepedihan yang kualami.
Bersambung.
(cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan toko dan tempat kejadian hal itu hanya kebetulan belaka)
Pagaralam 2011.
Fatamorgana
Fatamorgana
Imam Apriansyah
Aku sendiri tak mengerti
Mengapa liku ini tak kunjung kupahami…
Berat sayap yang kukepakan
untuk terbang melintasi prahara hati
entah maunya apa hati ini, kacau balau dihempas mabuk nurani
hampa nian
kering kerontang haus dahaga
bak kemarau panjang panas cuaca…
mencoba bersandar pada pohon hijau
dibawah naungan khutbah ulat dan pidato rayap.
Pohon pun roboh
tumbang merusak bangunan kalbu
fatamorgana….
bersandar pada pohon lapuk yang hijau hanya membikin hati tambah kecewa.
pagaralam 2011.
Lebih Dari Indah
Lebih Dari Indah
oleh: Imam Apriansyah
Menatap
mentari yang terbit pelan-pelan. dibalik bukit itu separuh cahaya
jingganya menembus cakrawala. Pohon-pohon beringin tertiup angin pagi
yang berhembus dari gunung dempo. Daun-daunya yang menguning itu runtuh
mengemas riwayat ditanah.
“kamu tetap akan mencintainya.”
“siapa?”
“ratna. bukankah dia sepertinya tak membalas cintamu”
“kamu tak mengerti mawar. Ia begitu istimewa. Dan aku tak akan berhenti untuk mendapatkan cintanya.”
Selalu
kamu membuatku ciut. kamu sepertinya tak melihat sorot mataku yang
memberi pertanda cemburu. Aku kesal memendam rasa yang sudah lama
membelenggu. Aku wanita duhai lelaki berhidung mancung, tak wajar jika
aku duluan yang mengungkapkan rasa ini.
“sampai kapan?”
“maksudmu?”
Aku
kikuk. Tak kusadari bibir ini menceracau hingga terucap kata itu.
Barangkali tak mampu menahan luapan perasaanku terhadapmu. Aku sejenak
terdiam dan hanya mampu menunduk. tak sanggup menatap hujaman matamu
yang selalu ingin membuatku menangis rindu.
“ e, em... maksudku,
sampai kapan kamu akan menantinya? Bukankah masih banyak wanita yang
mengharapkan cintamu. Termasuk orang yang berada disampingmu ini.”
“???”
“jangan GR lho, aku cuma menghiburmu”
Dan kamu mencubit hidungku.
“aww. Sakit tau!”
“kamu sih. Aku serius mawar.”
“aku juga serius. Aku Cuma kasihan sama kamu.”
“kasihan? Kenapa? Adakah yang patut dikasihani.”
“kamu juga nggak mengerti mad, siapa Ratna sebenarnya.”
“Ratna yang katanya cewek matre itu, sudahlah mawar kamu jangan terlalu termakan gosip murahan itu.”
“bukan itu saja.”
“ia wanita murahan?”
“bukan itu saja”
“lalu?”
Bibirku
lagi-lagi membeku. Sorot matamu membuatku bertekuk lutut dihadapanmu.
Aku kalah, berkali-kali kalah. untuk sekedar menatap matamu dan
mengatakan kata yang bagiku sakral itu aku tak mampu.
Dedaunan
kembali runtuh. angin gunung itu berhembus kencang, menerpa kita
beberapa helai daun yang sudah menguning. Bangku yang kita duduki telah
mengering embunnya, dihisap mentari yang mulai meninggi. Sinarnya pun
menerpa sebagian kaki kita. Sebagiannya lagi dihalangi pohon beringin
yang tumbuh banyak di taman ini. Beberapa kendaraan mulai berlalu
lalang, hiruk pikuk pengunjung ramai. Yang Rata-rata adalah remaja dan
pasangan muda yang hendak ngobrol atau sekedar menghabiskan waktu libur
hari minggu mereka, sembari memadu cinta ditaman yang nuansanya romantis
dan indah.
Burung-burung gereja bercanda ria. Terbang bebas dari ranting cemara.
“mawar?”
“ehm, “
“kamu belum menjawab tanyaku.”
“yang mana?”
“argggh. Kamu selalu selalu begitu”
“wew, bukankah semuanya sudah jelas sobat.”
“aku tetap akan mencintainya, mawar. Apapun yang orang bilang.”
“terserah kamu lah. o ya mad.”
“iya. Kenapa?”
“ijinkan aku menyanyikan sebuah lagu kesukaanmu.”
“yang mana?”
“ lagu Nikita willy, yang judulnya lebih dari indah.’’
“kamu suka?”
Aku mengangguk. Aku mulai menyukainya sejak kamu menyukainya rahmad, bisikku dalam hati. Dan aku mencoba menyanyikannya.
Bergetar hati ini saat mengingat dirimu
Mungkin saja diri ini tak terlihat olehmu, aku sadari itu
Bagaimana caranya agar kamu tahu bahwa kau lebih dari indah
Didalam hati ini
Lewat lagu ini kuingin kamu mengerti: aku sayang kamu
Kuingin bersamamu.
“mawar... Kamu menangis.’’
‘’terlalu mendalami makna lagu itu barangkali.”
“hehe. Aku suka. Suaramu bagus.”
“biasa
saja mad. Lebih bagus penyanyi aslinya.” Kataku. Dan berlalu
meninggalkanmu pulang kerumah. Kamu sempat bengong kulihat. Tapi
semuanya kulakukan untuk menutupi air mataku yang tak terbendung. Aku
mencintaimu dan aku tak ingin merusak bahagiamu.
***
“tumben disenja begini kamu ajak aku kesini.”
“kita dulu kan waktu masih kecil sering kesini. Kamu sudah lupa ya? Kita sering sama-sama mencari kupu-kupu atau capung disini.”
“rahmad.”
“matamu pasti berkaca-kaca.”
“aku tak akan melupakannya rahmad.”
“suamimu?”
Kenangan
itu menyeruak dalam ingatanku, saat mas wiro orang yang kusebut suami
baru seminggu harus meninggal tenggelam diempang desa gara-gara ingin
menangkap seekor kupu-kupu yang hinggap ditongkat yang menancap. Tak
terlalu dalam. Namun aku tahu betul mas wiro tak bisa berenang. Tak ada
orang waktu itu. Keadaan sekitar empang sepi, karena tempat yang
terkesan angker itu anak-anak atau warga tak berani sembarangan
mendatanginya.
Harus sedini itu usia pernikahanku.
“mas wiro mad.”
Aku
menangis sesenggukan dan merebahkan tangisku didada rahmad. Ia seolah
membiarkanku untuk menangis sejadinya. Ia mengambil HP disakunya dan
memutar lagu kesukaan mas wiro. Ungu untukmu selamanya.
Tangisku
bertambah deras. Kupu-kupu pulang keperaduannya. Senja sebentar lagi
akan habis dimakan malam. Air empang menarikan lagu yang menertawakan.
Ada bayangan dan tangis mas wiro disana. Dan Lambat laun tangisku pun
reda.
“mawar....”
“iya.” jawabku dengan suara yang sedikit parau
“aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu. Kuharap kamu juga bahagia mendengarnya.”
“apa itu mad? katakanlah.”
“aku akan segera menikah.”
“dengan siapa? Secepat itukah. Lalu bagaimana dengan kita.... em maksudku persahabatan kita? Aku takut kamu bakal melupakanku.”
“tidak akan pernah mawar. Persahabatan kita abadi.”
“bukankah tak ada yang abadi.”
“dan tidak pada sebuah persahabatan yang dilandasi karena cinta kepadaNya.”
“tapi?”
“tapi apa war.”
“aku.....”
“mengapa denganmu?”
“ah sudahlah. Lupakan saja. Oh ya kapan kamu akan melamar ratna.”
“ratna?”
“iya ratna. bukankah dia gadis yang kamu impikan selama ini?”
“bukan mawar.”
“lalu siapa, adakah wanita baru yang telah mengusik hatimu? Lalu ratna bagaimana?”
“aku
sedang ingin melupakan gadis yang tak tulus mencintaiku itu dan sedang
jatuh cinta pada gadis yang dengan hatinya mengharapku tanpa kesan
mengumbar.”
“siapa gadis beruntung itu? Katakan padaku.”
“dia selalu menghias cerita masa kecilku. Dia cantik. Agak tomboy sih tapi paling cantik kalau sedang marah.”
“rahmad kamu membuatku penasaran. Santikah? Atau nina?”
“bukan.”
“lalu siapa?”
“kamu mawar. Kamu telah membuatku jatuh cinta.”
“betulkah yang kamu katakan itu? Atau kamu hanya ingin membuatku ge er”
“demi senja yang diciptakan untuk kita. Kamu selalu saja menghantui tiap detik waktuku.”
“kamu membuat wajahku memerah. Rahmad.”
Dan senja berguguran. Warna jingga diufuk barat berangsur memudar. Tinggal titik-titik sisa cahaya yang juga beranjak sirna.
Pagaralam,16 september 2011. 11.00 Wib
Langganan:
Postingan (Atom)